Liturgical Calendar

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA HARI MINGGU BIASA XXX (PENUTUPAN SIDANG UMUM BIASA SINODE PARA USKUP) 29 Oktober 2023 : KITA MENGASIHI ALLAH MELALUI PENYEMBAHAN DAN PELAYANAN

Bacaan Ekaristi : Kel. 22:21-27; Mzm. 18:2-3a,3bc-4,47,51ab; 1Tes. 1:5c-10; Mat. 22:34-40.


Seorang ahli Taurat datang kepada Yesus dengan berdalih, untuk mencobai Dia. Tetapi, pertanyaan yang ia ajukan adalah pertanyaan yang penting dan bertahan lama, yang terkadang muncul dalam hati kita dan dalam kehidupan Gereja : “Perintah manakah yang terutama dalam hukum Taurat?" (Mat 22:36). Kita juga, yang tenggelam dalam arus Tradisi yang hidup, dapat bertanya : “Apa hal yang paling penting? Apa kekuatan pendorongnya?” Prinsip apakah yang lebih penting untuk dijadikan panduan segala sesuatu? Jawaban Yesus jelas: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap akal budimu. Itulah perintah yang terutama dan yang pertama. Perintah yang kedua, yang sama dengan itu ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Mat 22:37-39).

 

Saudara para kardinal, para uskup dan para imam, para rohaniwan dan rohaniwati, saudara dan saudari terkasih, di akhir tahap perjalanan kita ini, penting untuk melihat “prinsip dan landasan” yang sungguh menjadi awal mula segala sesuatu : dengan mengasihi. Mengasihi Allah dengan segenap kehidupan kita dan mengasihi sesama seperti diri kita sendiri. Bukan strategi kita, perhitungan manusiawi kita, jalan dunia, tetapi kasih kepada Allah dan sesama: itulah inti dari segala sesuatu. Dan bagaimana kita menyalurkan momentum kasih ini? Saya akan mengusulkan dua kata kerja, dua gerakan hati, yang ingin saya renungkan: menyembah dan melayani. Kita mengasihi Allah melalui penyembahan dan pelayanan.

 

Kata kerja pertama, menyembah. Mengasihi berarti menyembah. Penyembahan adalah tanggapan pertama yang dapat kita berikan terhadap kasih Allah yang cuma-cuma dan menakjubkan. Keheranan penyembahan, keajaiban penyembahan, merupakan sesuatu yang hakiki dalam kehidupan Gereja, terutama pada zaman kita dewasa ini di mana kita telah meninggalkan praktek penyembahan. Menyembah Allah berarti mengakui dalam iman bahwa hanya Dialah Tuhan dan kehidupan kita masing-masing, perjalanan Gereja dan hasil akhir sejarah semuanya bergantung pada kelembutan kasih-Nya. Ia memberi makna pada kehidupan kita.

 

Dalam menyembah Allah, kita menemukan kembali bahwa kita bebas. Itulah sebabnya Kitab Suci sering kali mengaitkan mengasihi Allah dengan perjuangan melawan segala bentuk penyembahan berhala. Mereka yang menyembah Allah menolak berhala-hala karena justru Allah memerdekakan, berhala-hala memperbudak. Berhala-hala menipu kita dan tidak pernah mewujudkan apa yang dijanjikannya, karena berhala-hala adalah “buatan tangan manusia” (Mzm 115:4). Kitab Suci tegas berkaitan dengan penyembahan berhala, karena berhala-hala dibuat dan dimanipulasi oleh manusia, sedangkan Allah, Allah yang hidup, hadir dan transenden; Ia “tidak seperti yang kubayangkan, yang tidak bergantung pada apa yang kuharapkan dari-Nya dan yang dengan demikian dapat menggagalkan harapanku, justru karena Ia tetap hidup. Bukti bahwa kita tidak selalu memiliki gagasan yang benar tentang Allah yakni kadang-kadang kita kecewa: Kita berpikir: 'Aku mengharapkan satu hal, aku membayangkan Allah akan berperilaku seperti ini, tetapi aku salah'. Tetapi dengan cara ini, kita kembali ke jalan penyembahan berhala, menginginkan Tuhan bertindak sesuai dengan gambaran yang kita miliki tentang Dia” (C.M. Martini, I grandi della Bibbia. Esercizi spirituali con l’Antico Testamento, Fiorentina, 2022, 826-827). Kita selalu berisiko berpikir bahwa kita bisa “mengendalikan Allah”, bahwa kita bisa membatasi kasih-Nya pada agenda kita. Sebaliknya, cara Ia bertindak selalu tidak dapat diduga, melampaui pemikiran kita, dan akibatnya cara bertindak Allah menuntut keheranan dan penyembahan. Keheranan sangat penting!

Kita harus terus-menerus berjuang melawan segala jenis penyembahan berhala; bukan hanya hal-hal duniawi, yang seringkali berasal dari keangkuhan, seperti nafsu akan kesuksesan, egoisme, keserakahan akan uang – jangan lupa iblis masuk “melalui kantong”, godaan karirisme; tetapi juga bentuk-bentuk penyembahan berhala yang disamarkan sebagai spiritualitas – spiritualitasku : gagasan-gagasan keagamaanku, keterampilan pastoralku ... Marilah kita waspada, jangan sampai kita menemukan bahwa kita menempatkan diri kita sebagai pusatnya dan bukan Dia. Dan marilah kita kembali menyembah. Semoga penyembahan menjadi pusat perhatian kita sebagai para gembala : marilah kita meluangkan waktu setiap hari untuk menjalin keintiman dengan Yesus Sang Gembala yang baik, dan menyembah Dia yang ada di dalam tabernakel. Semoga Gereja menyembah : di setiap keuskupan, di setiap paroki, di setiap komunitas, marilah kita menyembah Tuhan! Hanya dengan cara inilah kita akan berpaling kepada Yesus dan bukan kepada diri kita. Karena hanya melalui penyembahan yang teduh Sabda Allah akan hidup dalam perkataan kita; hanya di hadirat-Nya kita akan dimurnikan, diubah rupa, dan diperbarui oleh api Roh-Nya. Saudara-saudari, marilah kita menyembah Tuhan Yesus!

 

Kata kerja kedua adalah melayani. Mengasihi berarti melayani. Dalam perintah agung, Kristus mengikat Allah dan sesama sehingga mereka tidak akan pernah terputus. Tidak akan ada pengalaman keagamaan sejati yang tuli terhadap jeritan dunia. Tidak ada kasih kepada Allah tanpa kepedulian dan keprihatinan terhadap sesama kita; jika tidak, kita berisiko menjadi orang Farisi. Kita mungkin punya banyak gagasan bagus tentang bagaimana mereformasi Gereja, tetapi marilah kita ingat: menyembah Allah dan mengasihi saudara-saudari kita dengan kasih-Nya, itulah reformasi besar dan abadi. Menjadi Gereja yang menyembah dan Gereja yang melayani, membasuh kaki umat manusia yang terluka, mendampingi mereka yang rapuh, lemah dan terpinggirkan, pergi keluar dengan penuh kasih menjumpai orang-orang miskin. Kita mendengar pada Bacaan Pertama bagaimana Allah memerintahkan hal ini.

 

Saudara-saudari, saya memikirkan para korban kekejaman perang; penderitaan para migran, penderitaan tersembunyi dari mereka yang hidup sendirian dan dalam kemiskinan; mereka yang tertimpa beban hidup; mereka yang tidak punya air mata lagi untuk ditumpahkan, mereka yang tidak punya suara. Dan saya juga memikirkan betapa seringnya, di balik kata-kata manis dan janji-janji menarik, orang dieksploitasi atau tidak ada tindakan yang dilakukan untuk mencegah hal tersebut terjadi. Mengeksploitasi kelompok yang rentan adalah dosa besar, dosa besar yang merusak persaudaraan dan menghancurkan masyarakat. Sebagai murid Yesus, kita ingin membawa ke dunia jenis ragi yang berbeda, yaitu ragi Injil. Mendahulukan Allah dan, bersama-sama Dia, orang-orang yang sangat Ia kasihi: kaum miskin dan kaum lemah.

 

Saudara-saudari sekalian, inilah Gereja yang mana kita dipanggil untuk “memimpikan” : sebuah Gereja yang menjadi pelayan bagi semua orang, pelayan bagi saudara-saudari kita yang terkecil. Gereja yang tidak pernah menuntut pengakuan atas “perilaku baik”, tetapi menerima, melayani, mengasihi, dan mengampuni. Sebuah Gereja dengan pintu terbuka yang merupakan surga belas kasihan. “Orang yang penuh belas kasihan”, kata Yohanes Krisostomus, “adalah seperti pelabuhan bagi mereka yang membutuhkan; dan pelabuhan menerima semua orang yang melarikan diri dari kapal karam, dan membebaskan mereka dari bahaya, baik mereka yang jahat maupun yang baik; siapapun mereka yang berada dalam bahaya akan diterima di tempat perlindungan. Demikian pula, jika kamu melihat seseorang terdampar di darat karena kemiskinan, janganlah kamu menghakiminya atau menuntut penjelasan, tetapi singkirkanlah kesusahannya” (In pauperem Lazarum, II, 5).

 

Saudara-saudara, Sidang Umum Sinode kini telah selesai. Dalam “percakapan Roh” ini, kita telah mengalami kehadiran Tuhan yang penuh kasih dan menemukan indahnya persaudaraan. Kita telah saling mendengarkan dan yang terpenting, dalam keberagaman latar belakang dan keprihatinan, kita telah mendengarkan Roh Kudus. Saat ini kita tidak melihat hasil proses ini sepenuhnya, tetapi dengan pandangan jauh ke depan kita memandang cakrawala yang terbuka di hadapan kita. Tuhan akan membimbing kita dan membantu kita menjadi Gereja yang semakin sinodal dan misioner, Gereja yang menyembah Allah dan melayani orang-orang di zaman kita, yang berjalan maju untuk membawa sukacita Injil yang menghibur kepada semua orang.

 

Saudara-saudari, saya berterima kasih atas semua yang telah kamu lakukan selama Sinode dan atas semua yang terus kamu lakukan. Terima kasih atas perjalanan yang telah kita lalui bersama, atas pendengaran dan dialogmu. Sebagai ungkapan terima kasih, saya juga ingin memanjatkan doa untuk kita semua: semoga kita bertumbuh dalam penyembahan kita kepada Allah dan dalam pelayanan kita kepada sesama. Menyembah dan melayani. Semoga Tuhan menyertai kita. Marilah kita berjalan maju dengan sukacita!

_____

(Peter Suriadi - Bogor, 29 Oktober 2023)


No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.